Gunung Kawi, tempat mencari kekayaan!
Seperti
dataran tinggi lainnya, Gunung Kawi menawarkan keindahan pegunungan
asri dengan udara yang menyegarkan. Lebih dari itu, Gunung Kawi ternyata
memiliki magnet lain yang sangat kuat sebagai daya tarik. Karena bagi
sebagian orang, Gunung Kawi adalah salah satu tujuan wisata religius
sekaligus simbol kemakmuran. Pesarehan Gunung Kawi merupakan daerah
wisata yang unik, karena bertahun-tahun memendam mitos bahwa daerah ini
merupakan tempat untuk mencari ‘pesugihan’ atau kekayaan, terutama bagi
orang-orang keturunan Tionghoa. Siapapun yang datang kesini dan
mendapatkan berkah maka usahanya akan maju dengan pesat dan meraih
keuntungan yang berlipat-lipat. Yang paling menarik adalah hampir tiap
tahun pesarehan ini penuh sesak dengan peziarah. Dan kebanyakkan mereka
adalah orang-orang yang pernah datang kesini sebelumnya, mereka kembali
karena telah mendapatkan ’pesugihan’ itu dan supaya tetap langgeng
mereka harus datang lagi sesering mungkin. Konon banyak juga pengusaha
etnis China ternama dari Jakarta yang sering datang ke tempat ini.
Kawasan
Gunung Kawi, terletak di ketinggian 500 sampai dengan 3000 meter di
atas permukaan laut. Persisnya berada di Kecamatan Wonosari, Kabupaten
Malang Jawa Timur. Dulu daerah ini disebut Ngajum. Namanya berubah
menjadi Wonosari karena di tempat ini terdapat obyek wisata spiritual,
berupa makam Eyang Raden Mas Kyai Zakaria alias Mbah Jugo, dan Raden Mas
Imam Sujono, alias Mbah Sujo. Wono berarti hutan, sedangkan Sari
berarti inti. Namun bagi warga setempat, Wono Sari dimaksudkan sebagai
pusat rezeki yang dapat menghasilkan uang secara cepat.
Kecamatan Wonosari memiliki luas hampir 67 kilometer persegi, dengan
jumlah penduduk 43 ribu jiwa. Tempat ini berkembang menjadi daerah
tujuan wisata ziarah sejak tahun 1980-an. Meskipun terletak terpencil di
sebuah desa di atas bukit tapi anda akan menemukan keramaian yang luar
biasa layaknya sebuah perkampungan di kota. Di sini ada banyak tempat
hiburan malam, penginapan, restoran dan warung-warung kaki lima yang
berjejalan di sepanjang kanan kiri jalan menuju komplek pesarehan.
Padahal menuju daerah ini, sepanjang perjalanan anda masih tetap
disuguhi pemandangan pedesaan dan pegunungan yang sepi. Daerah sekitar
pesarehan ini merupakan daerah pertanian yang subur, penghasil ketela
Gunung Kawi yang terkenal itu, sejenis ketela rambat kecil-kecil yang
manis sekali rasanya. Ketela ini banyak dijual di area pesarehan sebagai
oleh-oleh khas Gunung Kawi.
Di Gunung Kawi terdapat makam dua tokoh kejawen: RM Imam Soedjono [wafat
8 Februari 1876] dan Kanjeng Zakaria II alias Mbah Djoego (wafat 22
Januari 1871). Keterangan tertulis di prasasti depan makam menyebutkan,
Mbah Djoego ini buyut dari Susuhanan Pakubuwono I (yang memerintah
Kraton Kertosuro 1705-1717). Adapun RM Imam Soedjono buyut dari Sultan
Hamengku Buwono I (memerintah Kraton Jogjakarta pada 1755-1892).
Berkunjung
ke kawasan Gunung Kawi, suasana magisnya sangat terasa. Bau asap dupa
tercium di mana-mana. Pada tahun 1200 masehi, lokasi ini pernah menjadi
tempat pertapaan Prabu Kameswara, pangeran dari Kerajaan Kediri yang
beragama Hindu, saat tengah menghadapi kemelut politik kerajaan. Konon,
setelah bertapa di tempat ini, sang prabu berhasil menyelesaikan
kekacauan politik di kerajaannya. Kini petilasan ini menjadi tempat
pemujaan. Di kawasan ini juga terdapat beberapa tempat pemujaan lain,
seperti pohon beringin tua yang berakar lima. Makam Eyang Jayadi dan
Raden Ayu Tunggul Wati, keturunan Raja Kediri bertarikh 1221 masehi.
Disamping itu terdapat makam juru kunci pertama Eyang Ssubroto, Eyang
Djoyo, dan Eyang Hamit, yang juga tak luput dari mitos pesugihan.
Biasanya masyarakat melakukan pemujaan di keraton ini pada hari Kamis
Legi, Jumat Kliwon dan malam Satu Suro. Pemujaan dilakukan dengan
meletakkan sesaji, membakar dupa, dan bersemedi selama berjam-jam,
berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan. Ini merupakan areal makam
Eyang Jugo dan Eyang Sujo, terletak di ketinggian 700 meter Gunung Kawi.
Tempat ini dikenal sebagai pasarean Gunung Kawi. Para peziarah datang
ke makam ini, terutama saat tanggal 12 bulan Suro, hari Minggu Legi
serta Jumat Legi. Tanggal 12 Suro selain Tahun Baru Islam, juga
merupakan hari wafatnya Eyang Sujo. sedangkan hari Minggu Legi,
diperingati sebagai hari wafatnya Eyang Jugo, dan Kamis Legi sebagai
hari pemakamannya. Untuk memasuki pasarean ini, harus melewati tiga
gapura, dan anak tangga sejauh 750 meter. Di setiap gapura terdapat
relief perjuangan Eyang Jugo dan Sujo. Eyang Jugo, memiliki gelar Kyai
Zakaria, sementara Eyang Sujo memiliki gelar Raden Mas Imam Sujono.
Kedua tokoh ini, merupakan keturunan keraton Mataram, yang merupakan
pengikut setia Pangeran Diponegoro, saat berjuang melawan penjajahan
Belanda.
Tahun 1830 saat Pangeran Diponegoro ditawan dan diasingkan Belanda, para
pengikutnya, termasuk Eyang Jugo, dan Eyang Sujo, melarikan diri ke
tempat ini. Sejak itulah mereka berdua tidak lagi berjuang dengan
mengangkat senjata, tetapi mengubah perjuangan melalui pendidikan.
Selain menyebarkan agama Islam, mereka juga memberikan penyuluhan di
bidang pertanian, dan kesehatan. Beginilah suasana tempat keramat ini
saat malam Jumat Legi. Sejak Kamis sore para peziarah telah mulai
berdatangan. Mereka berasal dari berbagai tempat. Bahkan ada yang datang
dari luar Pulau Jawa. Tujuan mereka satu, untuk mencari berkah di
Gunung Kawi.
Tidak ada persyaratan khusus untuk berziarah ke tempat ini, hanya
membawa bunga sesaji, dan menyisipkan uang secara sukarela. Namun para
pezirah yakin, semakin banyak mengeluarkan uang atau sesaji, semakin
banyak berkah yang akan didapat. Untuk masuk ke makam keramat, para
peziarah bersikap seperti hendak menghadap raja. mereka berjalan dengan
lutut. Menurut RM Nanang Yuwono Hadiprojo, keturunan ke-5 RM Imam
Sujono. Image bahwa tempat ini sebagai tempat pesugihan adalah tidak
beralasan. Tempat pesugihan itu memiliki beberapa kriteria, antara lain,
tempatnya menyeramkan, jauh dari pemukiman masyarakat, dan tidak ada
tempat ibadah. Sementara di tempat ini, tempatnya tidak menyeramkan,
dekat dengan pemukiman masyarakat, dan banyak tempat ibadah.
Sementara
di luar makam, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan
keberuntungan. Pohon itulah yang disebut pohon dewandaru, pohon
kesabaran. Dari bentuknya, pohon ini mirip pohon cereme, yang diduga
berasal dari negeri Cina. Eyang Jugo dan Eyang Sujo menanam pohon ini
sebagai perlambang daerah ini aman. Untuk mendapat keberuntungan, para
peziarah menunggu dahan, buah dan daun jatuh dari pohon. Begitu ada yang
jatuh, mereka langsung berebut. Namun, untuk mendapatkannya memerlukan
kesabaran. Hitungannya bukan hanya, jam, bisa berhari-hari, bahkan
berbulan-bulan.Bila harapan mereka terkabul, para peziarah akan datang
lagi ke tempat ini untuk melakukan syukuran. Sepeti halnya pada malam
Jumat Legi ini. Salah seorang peziarah melakukan syukuran dengan
menanggap wayang kulit. Gunung Kawi memang dikenal sebagai tempat untuk
mencari pesugihan. Mitos ini diyakini banyak orang, terutama oleh mereka
yang sudah merasakan berkah berziarah ke Gunung Kawi.